Prostitusi

Pekerja Seks Komersial


PESING antarkan Cerita kehidupan Malam
                Gerak sunyi perpohonan mengantar deru angin diperpanjangan malam, bising suara mesin yang lalu lalang diantara celah jalan berlubang mengantar getar pada hentakan bumi yang menggumam diantara puluhan manusia yang menanti malam di sebuah tempat yang lusuh dipinggiran kali. Sambutan dan senyuman manis dengan siulan-siulan kecil dari sudut pinggir trotoar jalan dengan kangkangan kaki dan obralan paha beserta dada yang menonjol menjadi petanda imbauan bagi para lelaki yang haus akan kepuasaan batinnya. 
                Dari pinggir trotoar dengan ditemani kopi hitam yang bersandangkan gelas plastik dan sebatang rokok sebagai penyempurna malam ini atas ketidakwajaran dari apa yang saya lihat dan saya rasakan akibat dari robekan celah saku celana saya yang keluar untuk membayar kesempurnaan malam ini. Dari sudut lerengan mata ini,  saya mengamati gerak-gerik para lelaki yang menghampiri bidadari-bidadari malam, memilih dengan selera yang ia sukai sebagai teman ngobrol bahkan ada yang sebagai teman untuk melampiasan ketegangan pada urat-urat kemaluan malam ini.
                Betapa terpesonanya saya melihat adegan ini, seakan sandiwara dunia pada malam ini begitu panjang hingga rasanya saya tak ingin beranjak dari tempat duduk. Rasa penasaran mulai muncul dari diri saya setelah melihat beberapa lelaki yang mendekati perempuan-perempuan itu. Entah apalah yang mereka diskusikan hingga berselang beberapa detik mereka langsung beranjak kesebuah tempat yang tidak jauh dari posisi awal mereka, sebuah pondok yang berada tepat di pinggiran kali dan hanya ditutupi terpal yang memiliki tinggi sekitar 150 cm. Saya pun masih mengamati apa yang terjadi dan apa yang mereka lalukan di dalam pondok itu hingga tak lebih dari 10 menit akhirnya mereka keluar dari tempat persembuyian mereka di pinggir kali. Dengan mimik wajah yang nampaknya begitu bahagia dan diakhiri dengan bersalaman yang berisi lembaran kertas bernilai yang saya tidak tahu berapa jumlahnya.
                Rasa penasaran pun mulai semakin menjadi-jadi dengan diiringi rasa takut yang menguncang perasaan ini, tapi semua itu dapat dikalahkan dengan rasa keingintahuan yang lebih besar, makanya saya mulai memberanikan diri untuk menghampiri seorang perempuan yang duduk di kursi dengan memegang gadget sambil melihat ke jalan raya berharap ada seorang pangeran yang menghampirinya untuk menutupi kelaparan esok hari.
                Tanpa malu-malu saya langsung menghampiri perempuan itu, seakan menjadi pelanggan yang membutuhkan kepuasaan untuk melemaskan urat-urat yang tegang.
“mbak sendirian aja?” (tanya saya dengan santainya).
(Lalu perempuan itu menjawab dengan senyuman yang begiitu indah)
“iya mas, temenin kita donk”. (Huhuhu jawaban yang begitu menggairahkan).
Tanpa basa basi pun saya langsung membuka bungkusan rokok yang baru saya beli dan menawarkannya kepada perempuan itu sebagai tanda pembuka pengenalan kita
“mbak masih muda keliatannya, manknya mbak nggak sekolah?” (tanya saya sambil memetik korek api, dan memberikannya kepada perempuan itu)
“nggak”. (Jawabnya sambil membakar rokok yang berada diantara bibir merahnya).
“mbak baru ya disini? Kok saya baru liat? (tanya saya seakan telah lama dan menjadi pelanggan tetap).
“nggak kok mas, saya sudah 2 tahun bekerja seperti ini dan di tempat ini”.
Waduh, ternyata senior, jawab saya dalam hati.
Tanpa pikir panjang saya lontarkan kembali pertanyaan saya.
“kok mbak mau kerja seperti ini”?
Perempuan itu pun tidak menjawab, melainkan balik bertanya kepada saya “mas, mas kesini mau nanya-nanya atau mau maen (sex/bersetubuh/mencari kepuasaan) ?” (tanya perempuan itu dengan rasa kecurigaan).
Pikir saya dengan rasa ketakutan, seakan perempuan ini mencurigai saya sebagai mata-mata atau investigator. Untuk menutupi rasa kecurigaanya saya pun mulai membawa perbincangan ini lebih kedalam propesinya, dengan melemparkan senyuman keperempuan itu saya lontarkan pertanyaan mengenai tarif seakan bernegosiasi dengannya.
“mank kalo maen berapa tarifnya mbak?” (tanya saya seakan memiliki angka yang begitu banyak di saku celana ini).
“……. Ribu aja kok mas” (jawabnya sambil memainkan gadget yang ada ditangannya).
“loh kok tarifnya segitu mbak, apa nggak kemahalan”, (jawab saya dengan heran).
Tiba-tiba perempuan itu terdiam dan langsung mengarahkan pandangannya ke jalan raya, seakan tak mengacuhkan jawaban saya, saya pun berpikir apakah jawaban saya salah dan telah merendahkan harga dirinya? sejenak keadaan diantara kita berubah menjadi sunyi, seakan komunikasi berhenti tanpa adanya keputusan yang jelas. Bahkan untuk beranjak dan pergi meninggalkannya pun rasanya tidak enak sebab didalam hati saya rasa penasaran masih mengebu-ngebu, maka dari itu saya lontarkan kembali pertanyaan yang seakan saya menerima tawarannya
“kalo dengan harga segitu saya berikan ke mbak, lalu apa yang akan saya dapatkan ?” (tanya saya dengan percaya diri).
Perempuan itu pun nampaknya mulai merespon, mulai dengan mematikan api rokoknya, membenahi sedikit kekusutan pada bajunya dan menatap tajam kearah mata saya, ia menjawab:
“tujuan mas kesini mau ngapain? Mas kesini mau maen? Saya bisa memberikan itu semua jika mas memenuhi tarif  yang kita bicarakan! (jawabnya dengan kelembutan seperti seseorang yang sedang membutuhkan harapan).
Semakin membuat saya binggung, seakan perempuan ini mulai curiga dengan kehadiran saya. Jika saya jawab saya datang kesini bukan karena mencari kepuasaan melainkan karena rasa penasaran, tentunya perempuan itu akan marah dan mengusir saya atau bahkan saya bisa dipukuli oleh bodyguardnya yang menganggap saya mata-mata. Untuk menyelamatkan diri saya dari dunia malam ini saya pun menjawab:
“ah nggaklah mbak, mahal kali tarif segitu mah, biasanya juga nggak sampe segitu kalo saya maen”. (jawab saya seakan memang sudah tau harga pasarannya).
Lalu saya pergi untuk meyelamatkan diri dari rasa kecurigaan perempuan itu sebelum badan saya dilemparkan kedalam kali yang tidak jauh berada  dibelakangnya.

                Kepergiaan saya dari perempuan itu ternyata hanya sedikit melepaskan rasa penasaran yang mengebu di dalam hati saya. Namun rasa keingintahuan yang lebih masih mendorong saya untuk lebih mengetahui apa yang saya lihat, saya pun belum ingin pergi meninggalkan tempat tersebut karena rasa penasaran saya dan akhirnya memutuskan untuk mengitari tempat tersebut guna untuk melepaskan rasa penasaran ini. Sambil melihat-lihat keadaan sekitar dan memandangi beberapa perempuan penggoda, berselang beberapa langkah dari posisi awal saya terdengar teriakan yang cukup mengiang di telinga saya yang awalnya saya pikir adalah keamanan ditempat ini yang merasa curiga dengan kehadiran saya, saya pun tetap melangkahkan kaki seakan gerak kaki yang awalnya lambat kini semakin cepat karena diiringi rasa kecemasan, tapi suara itu terus memanggil saya hingga terdengar suara yang memangil nama saya, “Achil …. Achil … Achil”. Tak pikir panjang saya pun menoleh kebelakang dan memperhatikan kearah suara yang terlontar dibalik rimbunan pepohonan, setelah saya perhatikan dengan kejelasan yang cukup tajam ternyata suara teriakan itu berasal dari mulut teman lama saya, seorang perempuan yang sudah lama tidak berjumpa, seorang perempuan yang cantik parasnya, ia merupakan perempuan yang banyak dikagumi oleh para lelaki. Memulai dari saling memandang dengan jarak yang cukup jauh dan diiringi dengan langkahan kaki sehingga pertemuan ini bertemu di antara himpitan batu besar tempat bersandar sekaligus bersantai ria yang disampingnya kebetulan ada penjual kopi, disambut dengan senyuman hangat dan sebatang rokok kita memulai gelak tawa dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kabar kita masing-masing. Ternyata teman lama saya itu merupakan salah satu yang mengeluti profesi sebagai wanita penghibur di tempat ini sekaligus teman setia dari para lelaki binal yang hanya menginginkan tubuh moleknya untuk dijamah melampiaskan nafsu.

                Lama tidak berjumpa banyak cerita yang kami sampaikan mengenai kehidupan kita masing-masing  usai keberangkatan saya menuju ranah minang untuk menempuh pendidikan, dan dia ternyata lebih memilih jalan ini, ditempat ini, dan pekerjaan ini sebagai penyambung hidupnya. Sedikit bernostalgia dengan diiringi seruputan kopi hangat dimalam hari, saya pun memulai kembali rasa penasaran saya yang terhenti sementara, tanpa basa basi dan tidak adanya rasa takut karena berhadapan dengan teman sendiri, saya memulai percakapan diantara kita mengenai kehidupan yang ia geluti sekarang. Begitu banyak cerita yang ia sampaikan hingga mata yang awalnya begitu indah dengan bulu mata yang lentik menjulang kearah langit dikelilingi oleh lingkaran berwarna hitam disekitaran matanya seketika berubah menjadi mata yang sembat berisi air jernih mengumpal disekeliling bola matanya yang indah.

                Kerasnya kehidupan memaksanya  untuk terjun kedunia yang seharusnya tidak ia lakukan, tetapi akibat masa lalu yang dialaminya harus ia tempuh hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anaknya. “Dunia ini tidak adil”. Ucapnya dengan kemarahan dan emosi yang tidak tertahan.
                Saya pun berpikir mirisnya kehidupan seakan memaksa mereka harus terjun menjejerkan dan memperjual belikan kemolekan tubuhnya untuk dijamah oleh orang-orang yang tidak dikenalnya hanya untuk dapat menyambung hidup mereka. Bahkan di sebuah tempat yang saya rasa bukan tempat yang layak untuk melayani nafsu para lelaki binal, sebuah tempat yang hanya terbuat dari kayu dan ditutupi oleh terpal di pinggiran kali dan jalan raya. Apakah kejamnya dunia dan sulitnya perekonomian serta rendahnya pendidikan harus memaksa mereka terjun dan memilih jalan itu ? Merendahkan diri dan menawarkan kemolekan dari tubuhnya di pinggir jalan serta bersiul-siul kecil untuk memberikan kode bagi para pelanggan, bernegosiasi kecil jika sesuai tarif maka dipersilahkan menjamah seluruh tubuhnya. Begitu yang mereka lakukan setiap malam hanya untuk mendapatkan uang receh guna menutupi kelaparan esok hari.


Jakarta, 4 April 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INSTAGRAM FEED

@pesonamata